Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget HTML #1

Syukur Tak Cukup, Dompet Masih Kosong : Sebuah Petualangan Kacang Goreng

sakalangkong.com - Narasi. Kadang, hidup itu bagaikan kacang goreng yang jatuh ke lantai. Waktu itu, kita mikir, “Yah, sudah jatuh, kacang goreng nggak bisa diulangin lagi.” Tapi setelah dipikir-pikir, kacang goreng yang jatuh di lantai itu justru lebih nikmat. Kenapa? Karena kita menikmati proses jatuhnya. Begitu pula dengan hidup.

Lihat Kahar, teman saya yang bisa dibilang Pejuang Subuh kelas berat. Tapi ya gitu, setiap kali dia bangun Subuh, mukanya seperti habis dikejar anjing, lemas, dan ngantuk berat. “Subuh itu bukan masalah bangun, Kadhung. Tapi masalah sabar. Sabarnya tuh tipis banget,” katanya sambil menyeruput kopi sachet dengan wajah yang seolah-olah sedang menahan air mata.

Kahar ini unik. Walaupun Pejuang Subuh sejati, dia selalu merasa dunia ini sempit. “Ini gaji saya, kok segitu-gitu aja ya?” katanya sambil melirik dompetnya yang hanya memuat dua lembar uang dua ribuan dan satu kartu anggota warung kopi. Rasanya kayak, ya Allah, sempitnya hidup ini. “Padahal sudah sabar, lho. Tapi kok kayaknya ya dunia nggak adil?” keluhnya, dan saya cuma bisa menghela napas panjang.

Saya jawab santai, "Kadhung, jangan hanya lihat uang di dompetmu yang tipis itu. Coba lihat hati kamu. Syukurmu, Kadhung, yang lebih tipis daripada dompetmu, lho."

Paham kan? Terkadang kita fokus banget sama yang ada di luar, tetapi lupa bahwa yang penting itu yang ada di dalam—baik dompet maupun hati. Kuncinya: jangan cuma mikirin uang yang sedikit, tapi pikirin juga syukur yang masih belum maksimal.

Saya coba kasih pencerahan sedikit. "Kuluu min thayyibaati maa razaqnaakum wasykuruu lillaahi in kuntum iyyaahu ta’buduun." (QS Al-Baqarah: 172) — yang artinya, jangan cuma makan enak, tapi juga harus bersyukur. Tapi Kahar tetap cuma manggut-manggut, kayak orang yang paham tapi nggak ngerti-ngerti banget. Saya tahu dia cuma menunggu kopi kedua.

Jadi begini, kalau dompet kita tipis, syukuri saja. Kalau gaji kita segitu-segitu aja, syukuri juga. Tapi jangan terlalu terjebak dalam perasaan kurang, karena sesungguhnya yang kurang itu bukan dompet atau gaji, tapi sabar dan syukur. Bukan soal banyak atau sedikitnya, tapi bagaimana kita memandangnya.

Ingat, Allah sudah memberikan rezeki, dan kita diminta untuk bersyukur, bukan cuma soal besar atau kecilnya, tapi tentang bagaimana kita bisa menghargai apa yang ada. Fadzkurunii adzkurkum wasykuruu lii walaa takfuruun (QS Al-Baqarah: 152) — kalau kita ingat Allah, Allah pun akan ingat kita.

Jadi, jangan terlalu mengeluh soal uang, soal kerjaan, atau soal jodoh yang nggak kunjung datang. Coba lebih banyak bersyukur. Kalau pun gaji kita masih mini, anggap saja itu tiket masuk ke surga, karena Allah sudah memberikan kita kesehatan, kesempatan, dan kebahagiaan. Kalau kita bisa bersyukur, mungkin uang dua ribuan yang ada di dompet bisa terasa seperti harta karun.

Dan Kahar? Dia sudah lebih sabar. Kalau dulu dia protes tiap kali dapat gaji, sekarang dia cuma mikir, “Gaji segini ya sudah, yang penting bisa makan mie instan tiga kali sehari.”

Saya cuma bisa bilang, “Iya, Kadhung, syukur itu penting. Tapi kalau bisa, bisa juga sih, pakai yang lebih enak, jangan mie instan terus.”

Dan seperti yang saya bilang, hidup itu seperti kacang goreng yang jatuh di lantai—kita bisa mengeluh atau justru menikmati kacang goreng itu, meski sudah jatuh, dan selalu ada hikmahnya.

Posting Komentar untuk "Syukur Tak Cukup, Dompet Masih Kosong : Sebuah Petualangan Kacang Goreng"

Skillpedia