sakalangkaong.com - Narasi. Ada satu pesan yang ingin disampaikan negara melalui Surat Edaran Menteri Kependudukan dan Pembangunan Keluarga Nomor 14 Tahun 2025. Pesan itu tidak disampaikan lewat pidato panjang atau aturan berlapis. Cukup satu kalimat inti: ayah diajak mengambil rapor anak ke sekolah. Sederhana, tapi menyentuh jantung persoalan pendidikan keluarga.
Ilustrasi yang menyertai edaran itu menggambarkan suasana hangat. Seorang ayah tersenyum, seorang anak tampak bangga, rapor berpindah tangan. Adegan yang selama ini jarang terjadi, atau setidaknya jarang dianggap penting. Padahal, dari momen kecil semacam itulah rasa percaya diri anak tumbuh. Anak belajar bahwa ayah tidak hanya hadir saat menasihati, tetapi juga saat mendengarkan.
Selama bertahun-tahun, keterlibatan orang tua di sekolah cenderung timpang. Ibu menjadi sosok yang lebih sering terlihat di ruang kelas, di rapat wali murid, atau di antrean pembagian rapor. Ayah, dengan berbagai alasan, kerap absen. Bukan karena tidak peduli, tetapi karena peran sosial dan beban kerja yang membentuk jarak. Surat edaran ini mencoba menjembatani jarak itu.
Yang menarik, negara tidak memaksa. Tidak ada target angka atau kewajiban administratif. Bahasa yang dipilih bersifat menghimbau, mengajak, dan menyadarkan. Ini bukan soal formalitas kehadiran, melainkan tentang keterlibatan emosional. Ayah yang datang ke sekolah memberi sinyal kuat: pendidikan anak adalah urusan bersama, bukan tugas satu pihak.
Bagi anak, kehadiran ayah saat pembagian rapor bisa menjadi peristiwa penting. Di situlah percakapan dimulai. Tentang pelajaran yang disukai, kesulitan yang dihadapi, hingga mimpi-mimpi kecil yang sering luput dibicarakan di rumah. Rapor tidak lagi berhenti sebagai dokumen nilai, tetapi menjadi pintu dialog antara generasi.
Di sisi lain, sekolah juga diuntungkan. Guru dapat melihat dukungan keluarga secara lebih utuh. Komunikasi antara sekolah dan orang tua menjadi lebih seimbang. Pendidikan tidak berjalan searah, melainkan beriringan.
Gerakan Ayah Mengambil Rapor Anak ke Sekolah pada akhirnya adalah ajakan untuk mengubah kebiasaan. Mengubah cara pandang tentang peran ayah dalam pengasuhan. Negara seolah berkata: pembangunan keluarga dimulai dari kehadiran, bukan dari jarak.
Jika ajakan ini dijawab, sekolah-sekolah akan dipenuhi wajah-wajah ayah yang belajar kembali—belajar mendengar, memahami, dan menemani. Dari langkah kecil itu, masa depan anak-anak dibangun, pelan tapi pasti.

Posting Komentar untuk "Saat Negara Memanggil Ayah ke Sekolah"