PANASNYA HATI MEMBAKAR MASA DEPAN
Siang itu panas menyengat, setidaknya jok motor yang diduduki kami terasa hangat mencekam. Kami duduk, tapi dengan perasaan terpaksa.
Motor melaju melewati rumah-rumah komplek meninggalkan masjid tempat kami shalat Jumat tadi.
Dari kejauhan, persis di depan rumah dekat portal, seorang anak gadis usia 4 atau 5 tahun berdiri menghadap jalan sambil bertolak pinggang, lalu menengadah ke atas kemudian berjalan sebentar ke kiri lalu balik lagi.
Dia mengenakan kaca mata gaya sehingga sikapnya memgingatkan saya kepada artis-artis hollywood yang penuh gaya. Pastinya mengenakan kaca mata nyentrik seperti gadis tadi.
Saat saya mendekati rumahnya, gadis itu masuk padahal saya sangat ingin melihatnya dari dekat, melihat aksinya lebih lanjut.
Kadang, anak kecil suka meniru gaya artis yang dilihat di TV lengkap dengan pakaiannya. Tapi saya melihat hal yang lebih menenarik dari anak kecil tadi.
Seperti kebanyakan anak kecil, melihat sosok artis yang dipuja, dikagumi, yang jalannya pun diperhatikan ratusan, ribuan, bahkan jutaan mata, membuat imajinasi "andai aku seperti dia."
Sejujurnya, dulu pun saya seperti itu saat melihat Barry Prima di layar lebar alias layar tancap di hajatan tetangga, membayangkan diri sendiri ahli ciat-ciat lalu musuh terjungkal.
Untuk membuat diri saya sehebat Barry Prima, saya mengikat kepala dan kedua lengan atas dengan tali kulit pisang. Lalu saat main berantem-beranteman, saya merasa menjadi Barry Prima yang berhasil mengalahkan lawan.
Ternyata teman saya pun membayangkan hal yang sama, jadinya tidak ada yang mau kalah sampai kami berantem beneran dan nangis bersama setelah saling tendang dan gigit hingga dipisahkan oleh orang dewasa.
Kembali ke anak tadi, dia mengenakan kaca mata gaya layaknya artis, saya menduga dia sedang merasa famous sebab terlihat dari cara berjalan dan mengangkat dagu.
Padahal, artis yang sesungguhnya famous bukan karena kacamata, tapi karena perjalanan panjang menghasilkan karya seni yang kemudian digandrungi.
Kenyataannya, dia pun tidak tiba-tiba menghasilkan karya seni yang 'meledak' atau jadi hits, tapi meninggalkan jejak kegagalan atau karya yang dianggap tak berharga.
Maka saat dia berjalan ke panggung award dengan mengenakan kaca mata gaya lalu ribuan bahkan jutaan mata mengarah kepadanya, itu bukan karena dia memakai kaca mata.
Sama seperti saat Barry Prima menghajar musuh-musuhnya dengan jurus saktinya, bukan karena ikat di kepala dan di kedua lengannya.
Tapi karena sudah latihan dan itu proses panjang. Proses yang juga berlaku untuk para artis yang terkenal karena prestasi seninya.
Jadi saat saya melihat anak gadis tadi, saya tersenyum sambil bergumam, namanya juga anak-anak tahunya kaca matanya doang.
Sebab kalau sudah dewasa, pasti mau mengikuti prosesnya bukan sekedar hasil akhirnya. Bila sudah berhasil, apa pun yang dikenakan, tetap terlihat bagus, diikuti dan jadi trend.
Lalu bagaimana kalau ada orang yang memaksakan diri terlihat kaya agar dihargai? Duh, kok jadi kayak anak kecil ya?
Setelah menempelkan kartu, saya melajukan motor ke rumah, hari masih panas sehingga saya dan dua anak segera masuk ke dalam.
Wallahu'alam
Ahmad Sofyan Hadi
Download Free Ebook "Temukan Mentalblock melalui Analisa Tanda Tangan ''
🏡KELAS AFIRMASI ONLINE
Dengan visi besar "Memutus Rantai Kekerasan dalam Rumah Tangga"
Posting Komentar untuk "PANASNYA HATI MEMBAKAR MASA DEPAN"